Rabu, 29 Desember 2010

Artikel:Pendidikan Nilai Tingkah Laku Prososial Dalam Agama: Upaya Meminimalisir Konflik Sosial Dalam Masyarakat Plural


Pendidikan Nilai Tingkah Laku Prososial Dalam Agama: Upaya
Meminimalisir Konflik Sosial Dalam Masyarakat Plural
(Refleksi Pelaksanaan Pendidikan Damai di Nanngroe Aceh Darussalam)
Oleh:Safrilsyah, S.Ag, M.Si.
(Dosen Fakultas Ushuluddin, IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh)

A. Pendahuluan
Peran agama sebagai perekat heterogenitas dan pereda konflik sudah lama dipertanyakan. Tidak
dapat dipungkiri, bahwa manusia yang menghuni muka bumi ini begitu heterogen terdiri dari berbagai suku, etnis, ras, penganut agama, kultur, peradaban dan sebagainya. Samuel P. Huntington mengatakan bahwa perbedaan tidak mesti konflik, dan konflik tidak mesti berarti kekerasan. Dalam dunia baru, konflik-konflik yang paling mudah menyebar dan sangat penting sekaligus paling berbahaya bukanlah konflik antar kelas sosial, antar golongan kaya dengan golongan miskin, atau antara kelompok-kelompok (kekuatan) ekonomi lainnya, tetapi konflik antara orang-orang yang memiliki entitas-entitas budaya yang berbeda-beda.i Namun, selama berabad-abad, perbedaan entitas budaya dan agama telah menimbulkan konflik yang paling keras dan paling lama, paling luas, dan paling banyak memakan korban. Dalam citranya yang negatif, agama telah memberikan kontribusi terhadap terjadinya konflik, penindasan dan kekerasan. Agama dan budaya telah menjadi tirani, di mana atas nama Tuhan dan suku bangsa, orang melakukan kekerasan, menindas, melakukan ketidakadilan danpembunuhan.iiBegitu juga halnya dengan Indonesia yang terdiri dari beraneka ragam agama, suku bangsa dan budaya. Bangsa Indonesia yang memiliki kekayaan budaya yang beragam, Indonesia sangat membutuhkanperdamaian, keadilan, persamaan, dan seterusnya guna menciptakan tatanan masyarakat yang damai dan
tertram dalam bingkai masyarakat dengan budaya multikultural. Namun, patut dicatat bahwa akhir-akhir ini yang terjadi justru jauh dari harapan kemanusiaan. Sangant sering kita saksikan adalah masyarakat yang cendrung terjebak dalam sikap agresif, diskriminatif, konflik sosial, agama, kritis politik, ekonomi dan budaya. Kondisi ini semakin menggurita di negeri kita. Salah satu persoalan penting yang perlu dipertanyakan adalahbagaimana solusi agar problem-problem tersebut dapat diminimalisir?.
B. Konflik Sosial Dan Prilaku Prososial Agama.
Dimana ada perbedaan disitu ada konflik, hanya saja perbedaanya terletak pada potensi tensi konflik tersebut, besar atau kecil. Perbedaan antar individu saja dapat melahirkan konflik, apalagi perbedaan keyakinan agama sebagai kolompok sosial yang lebih besar. Karena itu, kecerdasan manusia sebagai individu atau kelompok sosial menguranginya merupakan harapan semua orang.iii
Secara bahasa Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul. Secara
sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.iv Secara umum konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi. Setiap manusia adalah individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki pendirian dan perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya.v Penyebab lainnya adalah Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadipribadi yang berbeda. Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendirian kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya akan menghasilkan perbedaan individu yang dapat memicu konflik. Selanjutnya konflik bisa terjadi karena adanya perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok. Konflik akibat perbedaan kepentingan ini menyangkut bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Begitu pula dapat terjadi antar kelompok atau antara kelompok dengan individu, misalnya konflik antara kelompok buruh dengan pengusaha yang terjadi karena perbedaan kepentingan di antara keduanya. Para buruh menginginkan upah yang memadai, sedangkan pengusaha menginginkan pendapatan yang besar untuk dinikmati sendiri dan memperbesar bidang serta volume usaha mereka.vi Konflik Sosial atau yang juga di sebut kerusuhan adalah suatu kondisi dimana terjadi huruhara/ kerusuhan atau perang atau keadaan yang tidak aman di suatu daerah tertentu yang melibatkan lapisan masyarakat, golongan, suku, ataupun organisasi tertentu. Konflik sosial dapat terjadi karena berbagai prasangka dan sebab. Seperti, prasangka-prasangka ras, suku, agama, keyakinan politik atau ideologi, dan lain sebagainya, dan sebab adanya ketidak-adilan dalam akses pada sumberdaya ekonomi dan politik. Adanya ketidak-adilan akses pada sumberdaya ekonomi dan politik memperparah berbagai prasangka yang sudah ada di antara kelompok-kelompok sosial. Sejarah Indonesia menunjukkan prasangka yang sudah ada di antara kelompok-kelompok sosial dipertajam dan diperparah oleh kebijakan negara. Misalnya kebijakan pemerintah kolonial Belanda yang mengistimewakan golongan Eropa, dan Cina telah mempertajam prasangka rasial antara golongan Melayu (pribumi ) dengan golongan Cina. Akses pada sumberdaya ekonomi dan politik yangdiberikan oleh pemerintah kolonial kepada orang Cina terus menimbulkan konflik sosial dari abad ke 18 hingga hari ini. Prasangka atas dasar perbedaan keyakinan politik di antara kelompok-kelompok sosial dipertajam dan diperparah pula oleh kebijakan negara. Misalnya, kebijakan negara yang mendiskriminasi orang-orang komunisatau Darul Islam telah memperparah prasangka yang sudah ada dan pada akhirnya melahirkan konflik antara negara dengan kelompok sosial tersebut. Dengan demikian kebijakan negara justeru menjadi sumber yang melahirkan konflik sosial.vii Kalaulah tindakan konflik sosial tersebut dilihat dengan pendekatan antropologi sosial (social  nthropology)viii, maka tindakan anarkhis yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat/orang tertentu atas kelompok lainnya, tentu bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab. Selain bertentangan dengan salah satu sila dari Pancasila juga bertentangan dengan pluralitas budaya, bangsa dan agama. Terutama nilai-nilai murni dalam agama, semua ajaran agama memiliki tujuan yang sama, yaitu kedamaian dan anti-kekerasan, saling tolong –menolong dan memaafkan. Karena itu semua agama yang ada di muka bumi ini mengajarkan kebaikan dan kedamaian hidup manusia. Buddha mengajarkan kesederhanaan, Kristen mengajarkan cinta kasih, Konfusianisme mengajarkan kebijaksanaan, dan Islam mengajarkan kasih sayang bagi seluruh alam. ix Secara umum ajaran Agama mengajarkan umatnya untuk saling menolong, memaafkan dan saling mencintai sesama manusia yang dalam ilmu psikologi disebut tingkah laku prososial.
Pengertian tingkah laku prososial (prosocial behavior) atau tingkah laku sosial yang positif sering
dipertentangkan dengan tingkah laku anti sosial. Staub dalam bukunya ”Introduction of Psychology Social” mengatakan; Prososial behavior is simply defined as behavior that benefits other people (Staub, dalam Safrilsyah;2005).x
Tingkah laku prososial adalah sebuah tindakan yang bertujuan untuk mensejahterakan orang lain
(menolong, memaafkan, membahagiakan, menyayangi, cinta damai, dll) dengan memperhatikan norma-norma yang berlaku di lingkungan masyarakat.  Berkaitan dengan hubungan keberagamaan (religiusitas) dengan prilaku prososial telah banyak diteliti para ahli. Agama yang bila sudah masuk ke dalam diri manusia menjadi religiusitas, sangat besar perannya dalam usaha pembinaan karakter manusia. Itulah sebabnya dalam sejarah bangsa-bangsa di dunia, agama
yang banyak mengajar keutamaan merupakan semacam perwujudan cita-cita untuk mendapatkan orang yang
jujur dan saleh di kemudian hari. Agama telah menjadi ajaran yang pokok, baik dalam pendidikan keluarga di
rumah, formal di sekolah maupun non formal di masyarakat.xi
Masyarakat kita yang dikenal masyarakat religi sangat erat dengan nilai-nilai agama. Di satu sisi
masyarakat Indonesia begitu prososial (ramah dan suka tolong menolong), tetapi beberapa pakar
mengisyaratkan kekhawatiran merosotnya nilai-nilai luhur yang ada dalam masyarakat, gejala ini ditunjukkan
dengan beberapa tindakan yang bersifat anti sosial. Bahkan Fromm , mensinyalir bahwa pada masyarakat
sekarang ini semakin tidak mampu mencintai sesame manusia. Mereka keliru menginterpretasikan tentang
kekayaan, dianggapnya bahwa orang kaya adalah yang memiliki banyak harta, padahal seharusnya orang kaya
orang yang memberi banyak pada orang lain. Dalam bahasa lain, dikatakan bahwa orang mempunyai orientasi
hidup yang bermodus eksistensi pada to have dan bukannya to be.xii Peradaban modern sekarang ini
digerakkan oleh jiwa dan semangat keserakahan, kesombongan, egoisme, hedonisme, dan ketidakpedulian
akan kebutuhan dan kesusahan sesama manusia, alam dan kehidupan di masa depan. Timbulnya
kecenderungan pada sebahagian kelompok masyarakat yang mulai lupa diri, tidak proporsional dan terlalu
mementingkan diri.xiii
Agama sebagai suatu sistem di samping menyangkut masalah emosi keagamaan, dampak agama pada
seseorang yang penting pada “buah”nya, yakni prilaku manusia. Karena agama (diasumsikan) selalu
mengajarkan nilai kebajikan, maka seharusnya orang yang taat beragama akan mempunyai pola prilaku yang
menjiwai nilai manusia. Karena agama (diasumsikan) selalu mengajarkan nilai kebajikan maka seharusnya
orang yang taat beragama akan mempunyai pola prilaku yang menjiwai nilai humanitianisme, seperti tolong
menolong, kasih sayang, dll.
C. Islam dan prilaku prososial
Seperti yang telah diuraikan diatas bahwa prilaku prososial adalah sebuah tindakan yang bertujuan
untuk mensejahterakan orang lain dengan memperhatikan norma-norma yang berlaku di lingkungan masyarakat. Diantara prilarku tersebut adalah memaafkan kesalahan, tolong-menolong dan kasih sayang dan cinta damai. Secara general semua agama mengajarkan ummatnya unutk menolong orang lain. Misalnya agama Yahudi menajarkan mangajarkan: "Cintailah tetanggamu sebagaimana engkau mencintai dirimu sendiri" (Leviticus 19:18). Dalam ajaran agama Kristiani disebutkan : "And as you wish that men would do to you, do so to them (Luke 6:31 dalam Schroeder et at, 1995).xiv Demikian juga dengan ajaran agama Islam, Allah berfirman : "tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan janganlah kamu tolong-menolong dalam perbuatan dosa....”(QS: 5;2). Ayat lainnya juga Allah berfirman perumpamaan harta yang dikeluarkan di jalan Allah, serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bilir, pada setiap bulir seratus biji...”( QS: 2; 261). Begitu dalam hadis Rasulullah bersabda bahwa: " Hamba yang paling. dicintai Allah adalah orang yang bermanfaat untuk orang lain dan amal yang
palingbaik adalah memasukkan rasa bahagia kepada mukmin, menutupi rasa lapar membebaskan kesulitan atau membayarkan.utang."(HR.Muslim). Dalam hadis lain: sesungguhnya Allah senantiasa menolong hambanya selama hambanya menolong ornag lain (HR. Muslim).
Namun dalam tulisan ini prilaku prososial yang dimaksud lebih difokuskan pada cinta damai . Islam,
dilihat dari segi namanya saja merupakan agama yang unik, karena ia berarti “keselamatan”, “kedamaian”, atau “penyerahan diri secara total kepada Tuhan.” Inilah sesungguhnya makna firman Allah, Inna al-din ‘ind Allah al- Islam , (Q.s. Ali Imran/3:19) “Sesungguhnya agama yang diridhai di sisi Allah ialah Islam”. Bila Islam diterjemahkan “perdamaian”, maka terjemahan ayat tersebut menjadi “Sesungguhnya agama yang diridhai di sisi Allah adalah agama perdamaian.” Dengan demikian, seorang Muslim adalah orang yang menganut agama perdamaian kepada seluruh umat manusia. Para nabi sejak Nabi Adam sampai Nabi Muhammad saw. menganut
agama Islam atau agama perdamaian itu. Pernyataan Nabi Ibrahim misalnya “La syarika lahu wabi dzalikaumirtu wa ana awwalul muslimin “ (Tidak ada sekutu bagi-Nya dan demikian itu diperintahkan kepadaku dan aku adalah golongan orang-orang pertama yang menganut agama perdamaian”) (Q.s. Al An’am/6: 163).
Dalam menyebarkan ajaran agama Islam, para nabi itu menyebarkannya secara damai, kecuali bila
sangat terpaksa karena orang kafir melakukan tindakan ofensif, mereka terpaksa melawannya dengan perangpula. Jadi, pedang dilawan dengan pedang. Namun demikian, meskipun terjadi peperangan menghadapi orangorang kafir dan. banyak ayat-ayat al-Qur’an yang memerintahkan agar umat Islam memerangi orang-orang kafir seperti Q.s. Al-Baqarah/2: 191, Q.s. An Nisa/4: 89, 91 dan sebagainya, watak Islam sebagai agama perdamaian tidak hilang. Islam tetap merupakan agama perdamaian yang mengajarkan kasih sayang bagi segenap alam. Pernyataan Allah dalam Al-Qur’an, Wa ma arsalnaka illa rahmatan lil ‘alamin (Q.s. Al-Anbiya/21: 108) (“Dan tidaklah Aku utus Engkau (Muhammad) melainkan untuk menjadi rahmat (kasih sayang) bagi segenap alam”)
Disamping agama yang sarat dengan pesan damai, ajaran Islam sangat ramah dan menghargai
keanekaragaman sebagai realitas (hukum alam). Dalam hal ini, konsep rahmatan lilalamin, merupakan landasan kultural ajaran Islam. Untuk menjalankan misi kemanusiaannya. Konsep tersebut perlu dipahami secara terbuka terutama dalam era pluralitas agama seperti sekarang ini, agar tidak terkesan Islam sebagai agama ekslusifdiskriminatif terhadap manusia.xv
Misi universal Islam adalah untuk membawa rahmat bagi seluruh alam - rahmatan lil 'alamin (Al
Qur'an, Al-Anbiya' 21:107). Rahmat yang dijanjikan Islam adanya kedamaian yang memiliki dua implikasi. Pertama, perdamaian bukanlah sesuatu yang hadir tanpa keterlibatan manusia. Ia akan menjadi realita kehidupan kalau manusia berperan aktif dalam mewujudkan cita-cita Islam itu. Kedua, kehidupan damai menurut Islam terbuka kepada semua individu, komunitas, ras, penganut agama, dan bangsa yang mendambakannya. Gagasan ini perdamaian universal ini menjadi lebih jelas bila dipahami dalam konteks definisi damai. Para pakar dan praktisi resolusi konflik memahami perdamaian tidak hanya bebas dari peperangan, tapi juga meliputi adanya keadilan ekonomi, sosial, dan budaya, serta bebas dari diskriminasi ras, kelas, jenis kelamin, dan agama.xvi
Makna kedamaian adalah satu totalitas yang bersumber dari keyakinan yang fundamental bahwa Allahadalah 'Damai' “asSalam” (Q. Al-Hasyr 59:23), Sumber perdamaian, dan Tujuan dari semua kegiatan perdamaian (lihat hadis dalam Islam, al-Tirmidzi, dan al-Nasa'i). sebagai 'al-Salam' dan Sumber kedamaian, Allah menyukai perdamaian dan perintah manusia untuk hidup dalam damai sesama manusia. Saling hidup berdampingan dengan damai, bebas diskriminasi, anarkhis, saling tolong-menolong dan kasih sayang walaupun ditegah perbedaan budaya, agama dan suku bangsa (QS; A’raf 23).xvii
Hubungan mesra dengan Allah sebagai sumber ke-Damai-an, merupakan sumber ketenangan batin
seseorang, Namun untuk menciptakan perdamaian yang komprehensif manusia juga harus mengolah lingkungan sosial yang damai juga. Secara filosofis, manusia adalah makhluk yang murni berasal dari esensi, dan pada saat yang sama makhluk sosial yang hidup dalam lingkungan dan kelompok. Keinginan utama
manusia kepada kedamaian adalah berhubugan erat dengan diri mereka sendiri dan keluarga mereka,
keinginan untuk bermartabat dan adil, dan terpenuhu kehidupan material yang layak yang memungkinkan
mereka untuk memenuhi kebutuhan keluarga mereka. Sebaliknya, pertumpahan darah dan kekerasan,
diskriminasi, dan ketidakadilan bertentangan dengan kehendak damai menentang Allah dan primordial ilahikesadaran
dan damai sifat manusia. Oleh karena itu, kekerasan, diskriminasi, dan ketidakadilan menghambat
baik karakter dasar manusia dan norma-norma kehidupan komunal. Akhirnya berujung pada penyebab
kurangnya kesempatan untuk memperoleh pendidikan, ekonomi, politik, dan kesejahteraan manusia secara
umum. Dengan demikian, kesadaran untuk tidak menindas dan menolak segala bentuk penindasan, kekerasan,
sikap agresif; merupakan elemen penting untuk mewujudkan perdamaian.xviii
D. Pendidikan Damai Sebagai Alternatif Solusi
Pasca penanda tanganan kesepakatan damai RI-GAM di Helsinki, maka muncul ide untuk mengali nilainilaiperdamaian dan keteraaan dalam agama Islam dan budaya Aceh. Usaha tersebut dirumuskan dalam satu
modul pendidikan yang dikenal dengan “Pendidikan Damai”. Dengan penerapan Pendidikan damai diharapkan
akan terus dilakukan secara kuntinyu, karena situasi konflik adalah realita kehidupan yang dapat muncul setiap
saat karena adanya benturan kepentingan, orientasi politik, system ekonomi, budaya dan agama. Sayangnya,
kekerasan sering kali digunakan unutk menyelesaikan konflik. Tapi perlu diingat, menyikapi konflik dengan
kekerasan berpotensi melahirkan ketidak nyamanan dan memperpanjang rantai kekerasan yang menyebabkan
kehancuran. Karena itu, Pendidikan damai mencoba untuk membangkitkan peserta didik kreativitas dalam
menyelesaikan konflik tanpa kekerasan, sehingga konflik disikapi dengan pentingnya kedamaian dalam proses
mencari penyelesainya. Oleh karena itu, Pendidikan damai yang dikembangkan dari nilai-nilai Islam dan kultur
Aceh tercermin dalam realitas sosial budaya masyarakat yang cinta damai, anti kekerasan dan diskriminatif.
Bentuk pendidikan damai yang dikembangkan di Provinsi NAD juga mengkaji ulang kearifan nilai ke-
Aceh-an yang Islami. Latar belakang sejarah· ke- Islaman yang panjang, dimana rakyat Aceh bukan hanya
menerima Islam dengan sepenuh hati tetapi juga menjadi pionir Islam di nusantara, bahkan Asia Tenggara,
menjadikan Islam mengakar dalam kehidupan masyarakat sehingga melahirkan kultur Aceh yang Islami dan
pemerintahan yang menerapkan syariat. Karenanya, perpaduan antara agama dan negara sangat kental dalam
masyarakat, seperti terefleksi dalam ungkapan "Hukom ngen adat, lagee zat ngen sifeut", yang berarti: (hukum
[agama] dan adat tak dapat dipisahkan, ibarat zat dengan sifat). Namun, panjangnya peristiwa konfik politik
bersenjata di Aceh – sejak Belanda, Pemerintahan Orde Baru- telah menyebabkan pelaksanaan nilai-nilai Islam
di Aceh menjadi dangkal dan terkotak-kotak, bahkan kehilangan ruh dan esensinya. Walaupun telah disahka
penerapan Syariat Islam melalui Undang-Undang No.44/1999 dan Undang-Undang No. 1 81.2001, namun
belum secara signifikan memperbaiki keadaan, karena wacana Syariat Islam di Aceh masih sebatas retorika
politik dan norma elitis yang belum menyentuh persoalan mendasar dan substantif. Akibatnya, semboyan
"hukom ngen adat lagee zat ngen sifeut" bukan lagi realita tapi menjadi sesuatu yang ideal, dan dalam
pengamalan Islam rakyat Aceh menjadi terlena hanya dengan aneka simbol.xix
Pendidikan damai mencoba mengkaji ulang simbol dan semboyan kearifan adat Aceh yang Islami
secara lebih substantif. Ini terutama yang berhubungan dengan perilaku prososial, khususnya sikap
perdamaian, cinta damai; seperti kesetaraan, kasih sayang, toleransi, dan keadilan. Dengan demikian simbol
dan petuah ini menjadi lebih bermakna dan bermanfaat. Jadi, pendidikan damai tidak menawarkan sesuatu
yang baru, melainkan merekonstruksi ide yang telah ada dengan pendekatan kontemporer agar lebih berdayaguna.
Pendidikan damai merupakan kebutuhan bukan hanya karena Aceh sedang dilanda konflik tapi karena
konflik merupakan realitas kehidupan yang muncul setiap saat akibat benturan kepentingan, pemikiran,
orientasi politik, sistem ekonomi, dan sebagainya. Sayangnya, kekerasan lazim digunakan sebagai metode
dalam menyelesaikan konflik. Tapi, menyikapi konflik dengan kekerasan berpotensi melahirkan ketidakdamaian
karena ia memperpanjang mata rantai kekerasan dan setiap kekerasan baru dapat berakibat lebih destruktif.
Karena itu, pendidikan yang dapat menyadarkan peserta didik tentang konflik, skil dalam menyikapi konflik, dan
pentingnya kedamaian berperan penting dalam menyelesaikan konflik. xx
Komitmen seluruh elemen masyarakat Aceh saat ini sudah menyatu dan utuh, yaitu mengakhiri
kekerasan, opresi meliter, diskriminasi, dan ketidakadilan dalam berbagai aspek kehidupan yang menimpa
individu dan masyarakat. Hal tersbut akan mudah dicapai melalui penyadaran makna dan hakikat nilai
kedamaian. Oleh sebab itu penyadaran makna salig memaafkan dan cinta damai demikian penting agar dapat
mendewasakan peserta didik. Iklim ini membahani anak dengan perspektif kedamaian yang sarat dengan
prilaku prososial, seperti; saling menghargai, suka membantu, dapat bemegosiasi, dan berkomunikasi dengan
menggunakan bahasa dan logika yang komunikatif. Semua faktor ini merupakan esensi pendidikan damai
termasuk yang berlangsung pada tatanan formal.
Dengan demikian Pendidikan formal diyakini sebagai arena yang tepat untuk memperkenalkan dan
mensosialisasikan pendidikan damai. Pandangan ini dilandasi pemahaman bahwa lembaga formal memiliki
sistem yang terstruktur, kepemimpinan yang terorganisir, dan waktu pembelajaran yang sistematis. Kurikulum
pendidikan damai diharapkan dapat berperan sebagai pedoman umum bagi proses pendewasaan peserta didik
agar dapat membangun paradigma, sikap, dan perlaku yang dapat mempromosikan nilai dan cara mengatasi
konflik tanpa kekerasan. Proses ini menggambarkan bahwa makna hakiki pendidikan damai, yang
direpresentasikan kurikulum ini, tidak hanya menyangkut aspek pembangunan sikap yang dapat mencerminkan
bahwa peserta didik telah dibahani dengan pendidikan damai. Disamping pengetahuan dan sikap tersebut,
peserta didik harus memiliki perfonnance (penampilan) yang seirama dengan aspek kognitif dan afektif itu
sendiri. Ini bermakna bahwa perilaku peserta didik dalam kehidupan keseharian mencerminkan kalau mereka
telah memperoleh pendidikan damai. Singkatnya, kurikulum ini disusun dengan mempertimbangkan materi inti
pendidikan damai yang eksplisit, dimana peserta didik diharapkan dapat menguasainya. Selain itu, kurikulum ini
juga mempertimbangakan substansi implisit yang mengacu pada perubahan sikap dan prilaku peserta didik
dalam kehidupan bermasyarakat.
Kurikulum pendidikan damai ini menekankan subject-centered sekaligus student centred. Student –
centered mempertimbangkan materi (tema dan topic) yang sesuai dengan pendidikan damai. Materi ini digali
dari nilai sosiokultural ke-Islam-an dan ke-Aceh-an yang seirama pula dengan Konvensi Hak Anak yang relatif
telah diakui secara universal. Nilai-nilai yang mendasari azasi anak tersebut pada gilirannya diharapkan dapat
membahani anak usia sekolah menengah agar secara psikologis mampu hidup, belajar, dan tumbuh dewasa
sebagaimana yang diharapkan meskipun dalam suasana yang tidak kondusif sekalipun. Kedewasaan yang
diharapkan yaitu dapat membangun sikap yang menghargai aturan dan norma positif dalam kehidupan
masyarakat. Sedangkan student-centered mengacu pada pertimbangan kondisi peserta didik, termasuk
The 9th Annual Conference on Islamic Studies (ACIS)
Surakarta, 2-5 November 2009
bagaimana agar mereka memiliki minat dan daya tarik untuk mempelajari materi pendidikan damai yang
dituangkan dalam kurikulum ini. Student-centered juga menempatkan peserta didik sebagai subjek yang
berpotensi dan mampu berfikir dan bersikap melalui proses pembelajaran yang interaktif dan demokratis.
Sebaliknya, pendidik lebih berperan sebagai pengasuh dan pembimbing yang mengarahkan peserta didik untuk
berkiprah dalam framework (kerangka kerja) yang diakui. Artinya, peserta didik hams dapat menghayati dan
mengaktualisasikan norma-norma edukatif yang berlaku dalam masyarakat Aceh. Dengan demikian,
epistemologi yang menafasi kurikulum pendidikan damai ini bersifat menyeluruh dan multi sasaran. Metodologi
penpjarannya bersifat dinamis dan komunikatif, artinya pengajaran tidak berlangsung secara doktrinasi yang
hanya melahirkan penguasaan materi secara semu dan tidak menyentuh kehidupan keseharian mereka.xxi
Secara lebih luas, pendidikan damai tidak hanya perlu diterapkan di Aceh, tapi juga bermanfaat bagi
kehidupan masyarakat pluralis seperti Indonesia. Tentunya dengan beberapa catatan, diantaranya perlunya
dilakukan pengembangan desain kurikulum dan metode pendidikan damai yang sarat dengan nilai agamaagama
yang ada di Indonesia, sehingga mampu menumbuhkan sikap saling menghargai antar pemeluk agama
dan kepercayaan. Diantaranya dengan mengkombinasi pendidikan damai dan pendidikan multicultural. Hal
tersebut jadi penting di perhatikan kerena Inonesia adalah bangsa yang majmuk dengan beriru etnik dan
budaya dan agama. Menurut Azra, kurikulum pendidikan multikultural penting di terapkan dalam pendidikan
nasional karena ia mencakup tema-tema mengenai toleransi; tema-tema mengenai perbedaan ethnokultural,
dan agama; bahaya diskriminasi; penyelesaian atau resolusi konflikdan mediasi hak asasi manusia (HAM);
demokrasi dan pluralitas; kemanusiaan universal, dan tema-tema lain yang relevan dengan kontek pluralitas.xxii
Tema-tema tersebut sangat urgen untuk mengurangi ketegangan-ketegangan sosial keagamaan, terutama
ditanah air terjadi konflik horizontal. Disinilah pentingnya pendidikan agama lintas kepercayaan (inter-religius
education) (Shalahuddin, 2005: 118).xxiii
E. Meminimalisir Konflik Dalam Masyarakat Pluralis
Disini perlu penulis tegaskan bahwa pendidikan Damai bukan satu-satunya upaya yang harus
dilakukan untuk meminimalisir konflik sosial dan agama dalam masyarakat plura. Dalam hal ini Bahtiar Effendy
berkomentar bahwa selain melalui pendidikan, konflik dalam era pluralitas agama dapat dikurangi melalui
pendekatan yang melibatkan elite agama untuk merumuskan posisi mereka dalam kehidupan sosial, ekonomi
dan politik.xxiv Namun perlu diingat bahwa pendidikan merupakan aspek yang paling berperan dibanding aspekaspek
lainnya. Karena pendidikan merupakan proses transformasi nilai dan pengetahuan yang secara langsung
berhubungan dengan peserta didik.xxv Terkait dengan hal tersebut, Amin Abdullah menawarkan model studi
agama dalam era pluralitas untuk meminimalisir konflik dengan mengkaji islam tidak saja dari salah satu aspek,
misalnya aspek antropologis apalagi teologis normatif, tetapi diperlukan aspek fenomenologis yang mencari
hakikat atau esensi dari apa yang ada dibalik segala macam bentuk manifestasi agama dalam kehidupan
manusia di muka bumi.xxvi Dengan ungkapan lain, dalam kajian Islam diperlukan pendekatan yang
multidimensional. Pendekatan multidimensional yang merupakan agenda pendidikan multicultural dapat
merupakan jalan alternatif untuk megurangi lahirnya prejudice- prejudice atau prasangka buruk yang memicu
sosial conflict dalam masyarakat pluralis; budaya, suku dan agama.xxvii
F. Penutup.
Dalam masyarakat Indonesia yang pluralis, memiliki beragam budaya, suku dan agama, sangat rentan
terjadinya konflik. Karena dimana ada perbedaan disitu ada konflik, hanya saja perbedaanya terletak pada tensi
konflik tersebut, besar atau kecil. Perbedaan antar individu saja dapat melahirkan konflik, apalagi perbedaan
entitas budaya, suku dan keyakinan agama sebagai kolompok sosial yang lebih besar. Karena itu, kecerdasan
manusia sebagai individu atau kelompok sosial untuk mengurangi konflik merupakan harapan semua orang.
Terkait dengan hal tersebut, pendidikan damai yang sarat dengan nilai prilaku prososial memiliki peran
penting untuk meminimalisir konflik sosial, agama dalam masyarakat plural, namun ia bukan satu-satunya
solusi. Untuk itu, pendidikan damai harus menggandeng pendekatan lain seperti nilai-nilai agama yang ada di
Indonesia dan model pendidikan lain seperti pendidikan multicultural. Hal tersebut urgen unutk dilakukan guna
dapat mendukung cita-cita meminimalisir konflik dalam masyarakat plural.
Perlu ditegaskan bahwa sesuai dengan peran dan fungsi pokok pendidikan sebagai transfer nilai dan
pengetahuan, maka pendidikan damai merupakan salah satu solusi yang signifikan untuk merubah prilaku
individu dalam rentang waktu tertentu baik secara kognisi, afeksi dan psikomotorik. Pendidikan damai memiliki
cita-cita ideal, yaitu terwujudnya perdamaian, keadilan, dan persaudaraan sosial, anti kekerasan dan
diskriminatif. Sebagai usaha penyempurnaan kurikulum pendidikan damai perlu terus dilakukan diskusi dengan
melibatkan pendekatan keyakinan dan budaya masing-masing entititas agama dan suku bangsa yang ada di
Indonesia. Selanjutnya Pemerintah dan Departemen terkait harus serius mendukung penerapan kurikulum
pendidikan dalam kurikulum di tingkat pendidikan formal atau non-formal.
Catatan Akhir
The 9th Annual Conference on Islamic Studies (ACIS)
Surakarta, 2-5 November 2009
i Samuel P. Huntington, Benturan Antar Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia, penerjemah M. Sadat Ismail,
(Yogyakarta: Qalam, 2000), hlm. 9.
ii Karen Armstrong, Berperang Demi Tuhan: Fundamentalisme dalam Islam, Kristen dan Yahudi, penerjemah Satrio
Wahono, Muhammad Helmi, dan Abdullah Ali, (Jakarta: Serambi, Bandung: Mizan, 2001), hlm. ix).
iii Ruslam Ibrabim, Pendidikan Multikultural: Usaha Meminimalisir Konflik Dalam Era Pluralitas Agama, Jurnal Pendidikan
Islam El-Tarbawi, No. 1. Vol. I. 2008, hal. 115-127
iv Chandra, Robby I, 1992, Konflik dalam hidup sehari-hari. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, hal. 12
v http://id.wikipedia.org/wiki/Konflik.
vi Ibid
vii http://www.komnasham.go.id/portal/files/AHGN-Konflik_Sosial_dari_Aspek_Penegakan _Hukum.pdf
viii Achmad Fedyani Saifuddin, Antropologi Kontemporer Suatu Pengantar Kritis Mengenai Paradigma (Jakarta: Kencana,
2005), hlm. 414.
ix Hassan Hanafi, Agama, Kekerasan, dan Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Jendela, 2001), hlm. 35.
xBaron, R.A. & Byrne, D. 2000, Social Psychology. Understanding Human Interaction Boston: Allyn and Bacon.
xi Saroglou, V., et.all., 2005, Prosocial behavior and religion: New evidence based on projective measures
and peer ratings, Journal for the Scientific Study of Religion 44 (3), pp. 323-348.
xii Safrilsyah, Kamaruzaman Jusoff and Rahmat Fadhil. 2009. Prosocial Behaviour Motivation of Acheness
Volunteers in Helping Tsunami Disaster Victims. J. Canadian Social Science. Vol. 5, No. 3, June 30, 2009:50-55
xiii Safrilsyah , Motivasi tingkah prososial masyarakat Aceh pasca musibah tsunami (studi kasus pada mahasiswa di NAD,
Laporan Penelitian, Dinas Sosial Satker BRR-NAD, (Banda Aceh: 2005), hlm. 35
xiv Op.cit, Safrilsyah, hal.40
xv Abuddin Nata, Paradigma Pendidikan Islam (Jakarta: Grasindo,2001), hal.100.
xvi Nasir Budiman, Ideologi Islam Sebagai Potensi Hidup Damai, dalam Nasir Budiman (ed.) Pergulatan Panjang Budaya
Damai dalam Masyarakat Multi Kultural, (Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2007), hal. x-xi.
xvii Ibid.
xviii Ibid., hal xii.
xixhttp://www.pendidikan-damai.org/files/kurikulum%20Pendidikan%20Damai/9/h.%20 filosofis.pdf.
xx Ibid
xxi Fauzi Saleh, Konsep Sulh dan Konsturuksi Pendidikan Damai di IAIN Ar-Raniry, dalam Nasir Budiman (ed.) Pergulatan
Panjang Budaya Damai dalam Masyarakat Multi Kultural, (Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2007), hal. 13.
xxii Azyumardi Azra “Identitas dan Krisis Budaya: Membangun Multikulturalisme Indonesia” dalam
http://kongres.budpar.go.id.
xxiii Shalahuddin “Humanisasi, Inklusifisasi Pendidikan Islam dalam Konteks Multikulturalisme” dalam Millah Jurnal Studi
Agama, Vol. V Nomor 1 Agustus 2005, hal.118.
xxiv Bahtiar Effendy, Masyarakat Agama dan Pluralisme Keagamaan (Yogyakarta: Galang Press, 2001), hal.
52.
xxv Ahmad Syafi’I Ma’arif, “Pendidikan dan Peningkatan Kualitas Moral Bangsa”, Makalah disampaikan
dalam Pidato Ilmiah pada Dies Natalis XXXIX FIS UNY, 14 September 2004.
xxvi Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas? (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hal 26-27.
xxvii S. Nasution, Sosiologi Pendidikan (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), hal.49-50.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, A., 1999, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Armstrong, K., 2001, Berperang Demi Tuhan: Fundamentalisme dalam Islam, Kristen dan Yahudi, penerjemah
Satrio Wahono, Muhammad Helmi, dan Abdullah Ali, Bandung: Mizan.
Azra, A., 2008, “Identitas dan Krisis Budaya: Membangun Multikulturalisme Indonesia” dalam
http://kongres.budpar.go.id.
Baron, R.A. & Byrne, D. 2000, Social Psychology. Understanding Human Interaction Boston: Allyn and Bacon.
Budiman, N., 2007, Ideologi Islam Sebagai Potensi Hidup Damai, dalam Nasir Budiman (ed.) Pergulatan
Panjang Budaya Damai dalam Masyarakat Multi Kultural, Banda Aceh, Ar-Raniry Press.
Chandra, R.,I, 1992, Konflik dalam hidup sehari-hari, Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Effendy, B., 2001, Masyarakat Agama dan Pluralisme Keagamaan, Yogyakarta: Galang Press.
The 9th Annual Conference on Islamic Studies (ACIS)
Surakarta, 2-5 November 2009
Hanafi, H., 2001, Agama, Kekerasan, dan Islam Kontemporer, Yogyakarta: Jendela.
http://www.komnasham.go.id/portal/files/AHGN-Konflik_Sosial_dari_Aspek_Penegakan _Hukum.pdf
http://www.pendidikan-damai.org/files/kurikulum%20Pendidikan%20Damai/9/h.%20 filosofis.pdf.
Huntington, S. P., 2000, Benturan Antar Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia, penerjemah M. Sadat
Ismail, Yogyakarta: Qalam.
Ibrabim, R., Pendidikan Multikultural: Usaha Meminimalisir Konflik Dalam Era Pluralitas Agama, Jurnal
Pendidikan Islam El-Tarbawi, No. 1. Vol. I. 2008, hal. 115-127
Ma’arif, A.,S., “Pendidikan dan Peningkatan Kualitas Moral Bangsa”, Makalah disampaikan dalam Pidato Ilmiah
pada Dies Natalis XXXIX FIS UNY, 14 September 2004.
Nasution, S., 1994, Sosiologi Pendidikan, Jakarta, Bumi Aksara.
Nata, A., 2001, Paradigma Pendidikan Islam, Jakarta: Grasindo.
Safrilsyah, 2005, Motivasi Prilaku Prososial Masyarakat Aceh Pasca Musibah Tsunami (studi kasus pada
mahasiswa di NAD, Laporan Penelitian, Dinas Sosial Satker BRR-NAD, Banda Aceh.
Safrilsyah, Kamaruzaman Jusoff and Rahmat Fadhil. 2009. Prosocial Behaviour Motivation of Acheness
Volunteers in Helping Tsunami Disaster Victims. Jounal Canadian Social Science. Vol. 5, No. 3, June 30,
2009:50-55
Saleh, F., 2007, Konsep Sulh dan Konsturuksi Pendidikan Damai di IAIN Ar-Raniry, dalam Nasir Budiman (ed.)
Pergulatan Panjang Budaya Damai dalam Masyarakat Multi Kultural, Banda Aceh: Ar-Raniry Press.
Saifuddin, A. F, 2005, Antropologi Kontemporer Suatu Pengantar Kritis Mengenai Paradigma, Jakarta: Kencana.
Shalahuddin, “Humanisasi, Inklusifisasi Pendidikan Islam dalam Konteks Multikulturalisme” dalam Millah Jurnal
Studi Agama, Vol. V Nomor 1 Agustus 2005, hal.118.
Saroglou, V., et.all., 2005, Prosocial behavior and religion: New evidence based on projective measures and
peer ratings, Journal for the Scientific Study of Religion 44 (3), pp. 323-348.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar