Oleh: Saiful Hidayati
Seorang Perempuan tua terlihat menghilang sebentar, bergesas masuk kedalam istananya yang sudah lapuk di makan usia sesuai dengan usia Nyak Tam yang sudah berumur 75 tahun. Dari balik dinding rumah dari papan yang sudah berlobang-lobang terlihat jelas apa yang sedang di lakukan nenek kalau di kalangan warga desa tempat tinggalnya dia di sapa Mak yeek. Dalam hitungan menit mak yeek sembari membawa keluar kopi dan kue sambil berucap silakan di minum nak, nyou keuh yang na mudah bak kamou, ujar Mak Kepada Harian Aceh ketika bertandang ke rumahnya.
Sikap nenek renta tentu membuat Harian Aceh penuh tanya, apakah dia sengaja menghindar karena malu atau takut. Pasalnya sehabis dia menjawab salam dan menyilahkan duduk di Balee (jambo kecil) yang berada di depan rumahnya, memang lazim di Aceh setiap rumah pasti ada Balee sebagai tempat untuk menghilangkan penat ketika baru pulang dari Aktivitas mereka, selain itu juga di gunakan sebagai duduk tamu yang berkunjung ke rumah sebelum dipersilahkan masuk ke rumah. Hal itu suatu adat orang Aceh khususnya di Pidie untuk membereskan di dalam rumah sebelum tamu masuk.
Sambil meneguk kopi dan mencicipi kue buatan sendiri Mak Yeek, dia lansung bertanya maksud dan tujuan Harian Aceh, apakah untuk memberi bantuan kepada dia sebagai pengrajin tikar pandan,” peu na Haba aneuk langkah keunoe, peu gata urueng bie bantuan,” demikian tanya Mak yeek.
Menurut Mak Yeek pertanyaan itu di lontarkan terkait cukup banyak orang datang ke kampung mereka mengambil data baik dari dari Pemerintah maupun NGO luar dan dalam dengan alas an akan di salurkan bantuan untuk pemberdayaan ekonomi korban Tsunami, tapi hingga kini bantuan tersebut belum pernah tiba, ataukah tidak ada mobil untuk di angkut atau tersangkut di mana.Mak Yeek merupakan korban bencana Tsunami yang melanda Aceh tiga tahun lalu, bahkan kumpungnya Desa Rawa Kecamatan Pidie nyaris hancur total dan banyak sanak keluarganya hilang di bawa air. Desa Rawa terletak di bibir pantai Laut selat Malaka yang di lingkari tambak-tambak dan hutan pandan yang merupakan bahan baku tikar, tapi saat Tsunami meluluh lantakkan desa tersebut, banyak hutan pandan hancur yang membuat hilangnya mata pencaharian mereka. Kerajinan tikar sudah di geluti Mak Yeek sejak dia masih remaja memnag tidak bias merubah taraf kehidupan warga, karena mereka baru bisa menyesaikan satu tikar ukuran 1 Meter x 2 dalam waktu sau minggu, sementara harus mengeluarkan modal bahan Rp. 10.000 sedang 1 tikar di jual seharga Rp. 20.000 itu belum di hitung ongos kerja.Proses bisa makan waktu seminggu dimuali dari pemotongan lalu di endapkan dengan air untuk pengawetan dan di jemur,yang makan waktu 3 hari. Setelah itu di raut (Sekut) dengan menggunakan alat khusus dari bambu sesudah siap semuanya baru di lakukan penganyaman.“ kami tidak ada pekerjaan lain untuk bisa berasap dapur, walau hanya sedikit tetap kami lakukan, apalagi tidak ada keahlian yang bisa kami lakukan”, ujar Hayati warga setempat.
Umumnya warga Desa Rawa tidak hanya mengenyam pendidikan di tingkat Dasar bahkan ada di antara mereka yang tidak pernah sekolah, hal tersebut di pengaruhi dengan kondisi perekonomian mereka morat-marit Apalagi kaum laki-laki hanya bekerja sebagai nelayan tradisionil, yang rezekinya seperti harimau.
Kondisi ini juga membuat sebagian besar anak-anak usia sekolah di desa tersebut terpaksa tidak sekolah di karenakan terkendala biaya dan banyak yang ikut mendongkrak ekonomi keluarga sebagai pengayam tikar pandan.
Tikar pandan Rawa memang dari dulu di kenal keseluruh Aceh bahkan ke seeluruh Indonesia. Hingga mereka tidak susah untuk menjualkan hasi produknya karena Toke lansung datang ke kampong untuk membeli tikar warga, tapi harga tidak naik-naik dari dulu hingga kini tetap sama,” entah itu permainan toke kami pun tidak tahu”, ujar Ibu Ani.
Terkait bantuan yang pernah di berikan pemerintah kepada pengrajin tikar di Desanya sejak Tsunami, Ani mengaku tidak pernah menerima, padahal mereka sangat butuh bantuan modal usaha,” kami sangat butuh modal untuk merinti kembali usaha kami yang telah hancur”, selanya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar